Kamis, 25 Maret 2010

Sanggahan dari Mereka yang Ragu


SANGGAHAN DARI MEREKA YANG RAGU

Menurut H.E Semedi, sanggahan dari mereka yang tidak percaya akan adanya reinkarnasi adalah dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut :

“Mengapa di dalam Al Qur’an tidak terdapat kata-kata reinkarnasi dan tidak ada sebuah Hadits pun yang membahas tentang reinkarnasi???”

Memang benar istilah reinkarnasi tidak terdapat di dalam Al Qur’an. Menurut Semedi begitulah bahasa Al Qur’an yang penuh dengan perumpamaan-perumpamaan bagi mereka yang mau berfikir. Apakah engkau tidak mengetahui ??? Apakah kita harus menolak istilah zaman sekarang yang secara kebetulan tidak tercantum di dalam Al Qur’an ??? Misalnya : Istilah “listrik”, “reaktor nuklir”, “radio”, “televisi”, “galaksi”, “fisika”, “atom”, “psikiatri”, “hipnotis” dsb. Dalam hal ini penulis ingin menambahkan bahwa istilah “keluarga berencana” pun tidak tercantum di dalam Al Qur’an, yang tercantum di dalam Al Qur’an hanya perintah menyusukan bayi selama 2 tahun (Al Baqarah 2 : 233) dan perintah bahwa kita hendaknya jangan sampai mewariskan (meninggalkan) keturunan yang lemah (Annisaa 4 : 9). Lemah dalam arti kata yang luas … adalah lemah jasmaninya, ruhaninya, mentalnya serta lemah keadaan sosial ekonominya … Bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang atau suatu kaum kecuali orang atau kaum tersebut berusaha sendiri untuk mengadakan perubahan (Ar-ra’ad 13 : 11). Di dalam Al Qur’an memang tidak ada kata-kata reinkarnasi, yang ada adalah kata-kata : dihidupkan kembali, diciptakan kembali, dikeluarkan lagi, dikeluarkan untuk kedua kalinya serta kata-kata lain yang senada …

Mengenai Hadits, secara terus terang Semedi mengatakan bahwa beliau kurang menguasai masalah Hadits. Bagi Semedi segala ilmu dan semua ajaran telah tercantum di dalam Al Qur’an dengan sempurna. Walaupun demikian beliau memberikan penjelasan mengenai Hadits Rosulullah yang sering di ulang-ulang untuk memperingatkan para sahabatnya :

Janganlah kamu tuliskan ucapan-ucapanku !!! Siapa yang menuliskan ucapanku selain Al Qur’an, hendaklah menghapuskannya; dan kamu boleh meriwayatkan perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah neraka.

DAN APA YANG DIBERIKAN RASUL KEPADAMU, TERIMALAH, DAN APA YANG DILARANG ATASMU, TINGGALKANLAH …(AL HASYR 59 : 7).

HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN! TAATILAH ALLAH DAN TAATILAH RASUL (NYA) DAN ULIL AMRI DI ANTARA KAMU. KEMUDIAN BILA KAMU BERLAINAN PENDAPAT TENTANG SESUATU, MAKA KEMBALIKANLAH IA KEPADA ALLAH DAN RASUL, JIKA KAMU BENAR-BENAR BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI KEMUDIAN. YANG DEMIKIAN ITU LEBIH UTAMA DAN LEBIH BAIK AKIBATNYA (AN NISAA 4 : 59).

Menurut Semedi, mungkin pada saat itu Rosulullah sudah merasa khawatir, bila segala ucapan-ucapan beliau dibukukan, maka pada suatu ketika akan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya :

  1. Kumpulan catatan tersebut bisa menjadi beban yang memberatkan bagi umatnya.
  2. Bisa menimbulkan perselisihan diantara umatnya dalam hal penilaian antara yang sahih dan yang tidak sahih.
  3. Akan menimbulkan mahzab-mahzab yang masing-masing berpegang pada ucapan Rasul yang mereka jadikan bahan bertentangan atau karena perbedaan persepsi mereka karena Rasul mengatakannya dalam situasi yang berbeda.
  4. Kemungkinan salah dengar, salah persepsi atau dibelokkan artinya baik secara disengaja maupun tanpa disengaja.
  5. Golongan yang membenci Islam akan dengan sengaja menyusupkan ajaran-ajaran palsu.
  6. Serta hal-hal lain yang akan bisa merusak citra Islam.

Ternyata 200 tahun lebih setelah Rasulullah wafat dibentuk panitia untuk menghimpun dan membukukan Hadits-hadits Rasulullah. Menurut Semedi, mula-mula terkumpul lebih dari 600.000 “calon Hadits”, disaring menjadi 20.000 dan disaring lagi untuk dibukukan menjadi hanya tinggal beberapa ribu saja. Melihat kurun waktu 200 tahun lebih yang sudah terlalu lama, serta jumlah “calon hadits” yang begitu banyak, maka bisa kita bayangkan betapa sulitnya pekerjaan yang dilakukan panitia tersebut. Mungkin terjadi perdebatan panjang bahkan perselisihan untuk menentukan mana yang sahih dan mana yang tidak. Wajar bila kemudian timbul golongan-golongan atau mahzab-mahzab. Tidak aneh bila kemudian muncul golongan-golongan yang lebih mengutakamakan Hadits dari pada Al Qur’an. Kurun waktu 200 tahun lebih berarti sudah 2 generasi. Apakah masih ada saksi hidup ??? Apakah pada saat itu sudah ada sistim penyimpanan arsip yang baik ??? Apakah pengumpulan calon hadits itu dihimpun dari mulut ke mulut melalui wawancara ??? Apakah mereka yang diwawancarai tersebut mempunyai daya ingat yang kuat ??? Apakah diantara panitia tersebut tidak ada kelompok kepentingan ??? Mengingat mereka adalah bukan Rosul dan bukan pula para sahabat Rasul, mereka adalah generasi baru setelah Rasul. Siapa yang bisa menjamin bahwa di dalam Hadits-hadits yang disingkirkan itu tidak terdapat ajaran reinkarnasi ??? Mengingat pada saat itu banyak Kaum Nasrani yang bermukim di zajirah Arab, dimana Kaum Nasrani pun setelah mengadakan muktamar gereja kristen di Konstantinopel pada tahun 553 Masehi, yaitu kira-kira 50 tahun sebelum munculnya Agama Islam telah menetapkan untuk membuang ayat-ayat mengenai reinkarnasi dari kitab Injil. Apakah anggota panitia penyusun Hadits pada waktu itu tidak terpengaruh Kaum Nasrani yang telah menghapuskan ajaran reinkarnasi tersebut ??? Sesungguhnya Al Qur’an telah meramalkan bahwa suatu saat nanti akan ada kelompok kepentingan yang lebih mengutamakan Hadits-hadits yang menurut mereka sahih daripada ajaran Al Qur’an. Hal ini sesuai dengan Firman Allah :

YA TUHANKU !!! SESUNGGUHNYA KAUMKU MENJADIKAN AL QUR’AN INI SESUATU YANG TIDAK DIACUHKAN (AL FURQAAN 25 : 30).

TELAH KAMI JELASKAN KEPADA MANUSIA DALAM AL QUR’AN INI SEGALA PERMISALAN, TETAPI MANUSIA DALAM BANYAK HAL SUKA MEMBANTAH. (AL KAHFI 18 : 54).

Menurut Al Khathib justru hadits-hadits Rosulullah itu dibukukan karena mulai tampak adanya gejala-gejala pemalsuan hadits yang muncul di wilayah sebelah timur, pada saat pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khulafa ar-Rasyidin yang ke-lima. Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Ibnu Shihab az-Zuhri untuk menghimpun sunah-sunah Rosulullah dan membukukannya menjadi beberapa eksemplar. Selanjutnya khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan satu buku kepada setiap pejabat di wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Hal ini terjadi pada awal tahun 100 H. Yang dianggap sebagai awal pembukuan dari hadits-hadits Rosulullah. Himpunan Hadits yang dibukukan itu berasal dari catatan para sahabat pada zaman Rosulullah termasuk catatan dari Siti Aisyah setelah melalui seleksi yang ketat. Catatan para sahabat maupun Siti Aisyah tidaklah berupa buku, namun berupa tulisan pada lembaran kulit, daun, tulang dan apa saja yang bisa ditulisi. Setelah penulisan dipelopori oleh khalifah maka muncul keberanian dari para tokoh ulama terkenal lainnya yang menyusun buku tentang hadits Rosulullah, antara lain Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hambal (164-214 H) dan Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhori (194-256 H) dan lain-lainnya.

Sesungguhnya penulisan hadits-hadits Rosulullah ini telah dilakukan sejak dini. Shahifah adalah catatan hadits yang berasal langsung dari Rosulullah sendiri yang memerintahkan untuk menuliskannya. Perintah tersebut diberikan kepada Abdulah bin Amr (7 SH-65 H). Tulisan tersebut diberi nama oleh penulisnya Ash-Shahifah Ash-shadiqah. Tulisan-tulisan Ibnu Abbas (3 SH-68 H). Shahifah Jabar bin Abdillah al-Anshari (16 SH-78 H). Shahifah milik Hamam bin Munabbih (40-131 H). Catatan Hamam ini berasal dari Abu Hurairah, sebelum Abu Hurairah meninggal pada tahun 59 H. Berarti dokumen tersebut ditulis sebelum tahun 59 H.

Kaum orientalis berpendapat bahwa hadits-hadits Rosulullah mulai ditulis pada awal tahun 200 H dengan maksud untuk mengecoh orang Islam agar tidak mempercayai hadits. Kaum orientalis berpendapat bahwa hadits-hadits tersebut adalah tulisan atau pendapat para ulama biasa bukan dari Rasulullah S.A.W.

(Al-Khatib : Hadits Nabi sebelum dibukukan).

Meskipun Semedi tidak menguasai masalah hadits, dia mengajukan sebuah Hadits yang dapat dipergunakan untuk memperkuat kebenaran reinkarnasi :

Do’a yang diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. : “Ya Tuhan !!! Bangunkanlah bagiku agamaku yang menjadi pegangan segala urusanku; bangunkanlah duniaku yang menjadi tempat (pencaharian) penghidupanku; bangunkanlah akhiratku yang menjadi tempat pulang bagiku; jadikanlah hidupku menjadi tambahan kekuatanku untuk segala amal kebaikan; dan jadikanlah kematianku untuk beristirahat dari segala kejahatan.

(Riwayat Muslim dari Abi Hurairah).

Pertanyaannya adalah pada kalimat : “Jadikanlah kematianku untuk beristirahat dari segala kejahatan.” Mengapa pada kalimat tersebut Rosulullah s.a.w. mempergunakan istilah kematian untuk beristirahat, tidak untuk berhenti dari kejahatan ???

Bagi mereka yang percaya akan adanya reinkarnasi maka kematian itu pada hakekatnya hanyalah selingan di antara dua kehidupan fisik dunia. Demikian juga sebaliknya, kehidupan fisik pun merupakan selingan dari antara dua kematian atau kehidupanan akhirat. Kita semua menyadari bahwa selama hidup di dunia tentu akan digoda oleh kebutuhan fisik dan nafsu yang bisa menjerumuskan diri ke dalam tindak kejahatan. Setelah kematiannya bagi ruh para durjana tidak akan bisa langsung berada di sisi Allah. Dunia fisik merupakan tempat ujian bagi setiap ruh untuk meningkatkan kualitas kesucian spiritualnya secara tahap demi tahap, sampai bisa mencapai tingkat ihsan dan insan kamil sehingga mereka tidak usah mengalami reinkarnasi secara terus menerus. Mereka bisa tetap hidup kekal disisi Tuhannya dan mendapat rejeki, kecuali bila Tuhan menghendaki lain. Itulah perjalanan sufistik yang mau tidak mau harus kita tempuh.

SESUNGGUHNYA KAMU MELALUI TINGKAT DEMI TINGKAT

(AL INSYQAAQ 84 : 19)

DAN KAMI TELAH MENUNJUKKAN KEPADANYA DUA JALAN, MAKA TIDAK-KAH SEBAIKNYA IA MENEMPUH JALAN YANG MENDAKI LAGI SUKAR ???

TAHUKAH KAMU JALAN YANG MENDAKI LAGI SUKAR ITU ???

(AL BALAD 90 : 10 – 12).

ADAPUN ORANG-ORANG YANG BERBAHAGIA, MEREKA ITU DI DALAM SURGA, TINGGAL DI DALAMNYA SELAMA TERBENTANG LANGIT DAN BUMI, KECUALI BILA TUHAN-MU MENGHENDAKI LAIN SEBAGAI KARUNIA YANG TIADA PUTUS-PUTUSNYA (HUUD 11 : 108).

Pada dasarnya setiap Ruh senantiasa ingin hidup kekal di sisi Allah termasuk ruh para durjana sekalipun. Setelah kematiannya Ruh mereka bisa melihat dan mendengar sendiri tentang alam kubur :

SESUNGGUHNYA KAMU TELAH LALAI, MAKA MULAI HARI INI AKU BUKA TABIR YANG MENUTUPMU, MAKA PANDANGAN MATAMU MENJADI TAJAM. (AL QAF 50 : 22).

Oleh karena itu, kemudian mereka (para ruh) memohon kepada Allah :

“YA, TUHAN KAMI. KAMI TELAH MELIHAT DAN MENDENGAR, MAKA KEMBALIKANLAH KAMI (KE DUNIA), KAMI AKAN MENGERJAKAN AMAL SHALEH, SESUNGGUHNYA SEKARANG KAMI YAKIN” (AS SAJDDAH 32 : 12).

“SEKIRANYA KAMI DAPAT KEMBALI KE DUNIA, NISCAYA KAMI AKAN MENJADI ORANG-ORANG YANG BERIMAN” (ASY-SYU’ARA 26 : 102).

Sebagai bukti bahwa Allah Maha Mengabulkan semua do’a, Maha Pengasih lagi Penyayang, maka Allah pun berkenan untuk menghidupkan mereka kembali ke dunia nyata dengan syarat bahwa mereka bersaksi dan harus membawa amanah agama. Di alam dunia, Allah pun akan menguji mereka dengan nafsu … Oleh karena itu, jangan merasa dirimu suci, tapi berusahalah hidup sebaik mungkin sesuai ajaran Al Qur’an dan Sunah Rasul …

Sanggahan lainnya adalah :

“Jika benar terjadi reinkarnasi, mengapa kita tidak ingat lagi kepada kejadian-kejadian pada kehidupan kita yang lalu ??”

“Mengapa menurut data statistik ternyata jumlah penduduk di dunia senantiasa meningkat ??” Dengan adanya reinkarnasi, seharusnya jumlah penduduk di dunia tidak akan bertambah banyak, karena Ruhnya juga tidak bertambah banyak.

Bila kita tidak bisa mengingat kejadian-kejadian pada kehidupan kita yang lalu, secara logika adalah wajar, karena ingatan kita tersimpan di dalam otak jasmani kita yang telah dikubur dan telah hancur menjadi tanah. Apakah ruhani bisa berfikir ??? Sebagaimana halnya dengan malaikat, apakah malaikat bisa berfikir ??? Apakah malaikat mempunyai nafsu, apakah malaikat mempunyai jenis kelamin ??? Penulis sendiri berpendapat bahwa Ruhani yang menggerakkan otak untuk berfikir dan mengingat sesuatu. Jadi, yang berfikir adalah otak. Otak tidak bisa mengingat sesuatu tanpa disertai adanya Ruhani, demikian juga Ruhani bila ingin menyatakan sesuatu harus melalui otak, kemudian otak akan menggerakkan tubuh. Bila Ruhani memasuki bayi dan dilahirkan kembali ke dunia, adalah wajar bila harus belajar lagi dari awal. Walaupun demikian, bila Tuhan menghendaki, maka tidak menutup kemungkinan jasmani yang baru tersebut bisa mengingat kejadian-kejadian pada kehidupan sebelumnya.

Semedi memberikan penjelasannya sesuai dengan Firman Allah :

HAI, MANUSIA !!! JIKA KAMU RAGU-RAGU TENTANG HARI KEBANGKITAN MAKA SESUNGGUHNYA KAMI CIPTAKAN KAMU DARI TANAH, KEMUDIAN DARI SEGUMPAL DARAH, KEMUDIAN DARI SEGUMPAL DAGING YANG SEMPURNA KEJADIANNYA DAN TIDAK SEMPURNA KEJADIANNYA, AGAR KAMI DAPAT MENJELASKAN KEPADAMU DAN KAMI TEMPATKAN YANG KAMI KEHENDAKI DI DALAM RAHIM UNTUK SUATU MASA TERTENTU DAN KEMUDIAN KAMI KELUARKAN KAMU SEBAGAI BAYI, DAN KAMU MENJADI DEWASA DAN DIANTARA KAMU ADA YANG DIWAFATKAN DAN DIANTARA KAMU ADA YANG DIKEMBALIKAN KE TINGKAT HIDUP YANG PALING RENDAH, SEHINGGA IA TIDAK MENGETAHUI APA-APA SETELAH TADINYA BERPENGETAHUAN.

(SURAT AL HAJJ 22 : 5).

Menurut Semedi, bila pengertian “dikembalikan ke tingkat hidup yang paling rendah” ditafsirkan sebagai “dimasukkan ke dalam neraka”, “dijadikan kafir” atau “dijadikan pikun”, maka tafsiran-tafsiran tersebut menjadi tidak sesuai dengan kata-kata selanjutnya yaitu : “sehingga ia tidak mengetahui apa-apa setelah tadinya berpengetahuan”. Mengapa tidak sesuai ??? Mengenai tafsiran “dimasukkan ke dalam neraka”, menurut pendapat penulis juga terasa kurang pas, karena pada ayat tersebut tidak sedang membahas tentang masalah neraka. Memang mengenai masalah usia tua dan kepikunan ada kaitannya, namun dalam hal ini, baik yang kafir maupun yang pikun walaupun pengetahuannya sudah menjadi berkurang, akan tetapi mereka masih mengetahui apa-apa, sehingga menurut pendapat Semedi mengenai penafsiran “dijadikan kafir” dan “dijadikan pikun” pada ayat tersebut, menjadi tidak seluruhnya benar. Oleh karena itu, Semedi berpendapat bahwa kata-kata : “dikembalikan ketingkat hidup yang paling rendah, sehingga ia tidak mengetahui apa-apa setelah tadinya berpengetahuan” lebih cocok bila diartikan sebagai : “dilahirkan kembali ke dunia sebagai bayi”. Dalam hal ini bayi yang baru dilahirkan dan tidak mengetahui apa-apa merupakan tingkatan hidup yang paling rendah dari siklus kehidupan manusia. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya bayi tersebut bisa melihat, bisa mendengar, bisa berbicar, menjadi seorang anak, menjadi remaja, berpengetahuan, berperasaan, berwawasan, menjadi dewasa dst…

Menurut Semedi hal ini didukung oleh firman Allah :

DAN ALLAH MENGELUARKAN KAMU DARI PERUT IBUMU DALAM KEADAAN TIDAK MENGETAHUI APA-APA, DAN DIA (ALLAH) MEMBERI KAMU PENDENGARAN, PENGLIHATAN DAN HATI, AGAR KAMU BERSYUKUR. (SURAT AN NAHL 16 : 78).

Menurut penulis, di dalam kata-kata : “diantara kamu ada yang dikembalikan ketingkat kehidupan yang paling rendah” tersebut, bisa berarti : “dilahirkan kembali ke dunia dalam kondisi yang memprihatikan , baik dari segi fisik maupun dari segi sosial ekonominya dan penafsiran yang sangat ekstrem adalah “dilahirkan kembali kedunia sebagai hewan”. Dalam hal ini tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bagi Allah. Allah Maha Kuasa atas segalanya.

Mengenai jumlah penduduk di dunia yang setiap tahun selalu meningkat, dimana dengan adanya reinkarnasi seharusnya jumlah tersebut tetap tidak meningkat , Sumedi memberikan penjelasan berdasarkan Al Qur’an sebagai berikut :

1. Bumi pada zaman dahulu kala , ratusan tahun yang lalu, pernah berpenghuni jauh lebih besar dari jumlah penduduk bumi pada masa kini .

2. Peradaban ilmu dan teknologi penduduk bumi jaman dahulu kala sudah lebih canggih dari ilmu dan teknologi masa kini.

3. Kecanggihan ilmu dan teknologinya , menyebabkan mereka lupa diri, mereka menjadi sombong , musrik dan kutur. Karena terhijab oleh kecanggihan ilmu dan teknologinya , mereka melupakan Tuhan-nya. Kemudian mereka menyalahgunakan ilmu dan teknologi yang dimilikinya , sehingga menimbulkan bencana yang sangat dahsyat dan akhirnya mereka menjadi musnah karena ulah mereka sendiri.

4. Mereka yang selamat adalah manusia-manusia pilihan Allah.

5. Belum semua Ruh yang mati dihidupkan kembali, oleh karena itu penduduk bumi masih terus akan meningkat.

DAN BETAPA BANYAK (PENDUDUK) NEGERI YANG TELAH KAMI BINASAKAN, YANG SUDAH BERSENANG-SENANG DALAM KEHIDUPANNYA, MAKA LIHATLAH ITU TEMPAT KEDIAMAN SESUDAH MEREKA TIDAK DIDIAMI LAGI, KECUALI HANYA SEBAGIAN KECIL. DAN KAMI ADALAH PEWARISNYA. (AL QASHASH 28 : 58)

Surat Al qashash 28 : 58 ini memberikan kepada kita bahwa banyak negeri yang semula subur makmur, kerta raharja, gemah ripah loh jinawi namun penduduknya hanya bersenang-senang saja tanpa mensyukuri nikmat Allah artinya tidak peduli kepada masalah kelestarian alam serta lingkungan hidup, maka akibat kerusakan yang mereka timbulkan, mereka sendiri pun akhirnya ikut binasa. Data-data sejarahnya juga ikut musnah. Hanya sebagian kecil saja yang tersisa baik alamnya maupun penghuninya. Oleh karena itu, penyebaran penduduk di dunia menjadi tidak merata. Di daerah yang subur penduduknya bisa sangat padat. Di daerah gersang penduduknya sangat jarang atau bahkan tidak ada sama sekali. Daerah yang semula suburpun bisa rusak berat karena ulah manusia yang serakah, karena ulah manusia yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, tanpa memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan hidup. Berapa banyak hutan tropis yang rusak ??? Konon kabarnya lembah Mekahpun pada awalnya adalah daerah yang subur.

Legenda Benua Atlantis yang hilang mengisahkan kecanggihan ilmu dan teknologi penduduknya yang lebih canggih dari keadaan penduduk bumi masa kini. Edgar Cayce seorang para normal dari Amerika, pada masa hidupnya sempat menghipnotis dirinya sendiri dan menceritakan kisah kecanggihan ilmu dan teknologi penduduk Benua Atlantis tersebut. Kisah banjir besar di dalam Al Quran adalah kisah Nabi Nuh.

APAKAH TIDAK MEREKA PERHATIKAN BERAPA BANYAK GENERASI YANG TELAH KAMI BINASAKAN SEBELUM MEREKA, PADAHAL (GENERASI ITU) TELAH KAMI TEGUHKAN KEDUDUKANNYA DI MUKA BUMI DENGAN KETEGUHAN YANG BELUM PERNAH KAMI BERIKAN KEPADAMU …

(AL AN’AAM 6 : 6).

BERAPA BANYAK UMAT YANG TELAH KAMI BINASAKAN SEBELUM MEREKA, SEDANGKAN MEREKA LEBIH BAIK PERLENGKAPANNYA DAN LEBIH CANGGIH DIPANDANG MATA (MARYAM 19 : 74).

APAKAH MEREKA TIDAK BEPERGIAN DI MUKA BUMI DAN MEMPERHATIKAN BAGAIMANA KESUDAHAN ORANG-ORANG SEBELUM MEREKA ??? MEREKA ITU (ORANG-ORANG SEBELUMNYA) LEBIH BANYAK DARI PADA MEREKA (YANG SEKARANG) DAN LEBIH HEBAT KEKUATANNYA DAN (LEBIH HEBAT) BEKAS-BEKAS PENINGGALANNYA DI MUKA BUMI. TETAPI APA YANG BIASA MEREKA USAHAKAN TIDAK DAPAT MENOLONG MEREKA ( AL MU’MIN 40 : 82 ).

MAKA KETIKA DATANG RASUL-RASUL KEPADA MEREKA MEMBAWA BUKTI-BUKTI, MEREKA BERSOMBONG DENGAN PENGETAHUAN YANG MEREKA MILIKI. MAKA, MEREKA DITIMPA AZAB KARENA APA YANG BIASA MEREKA PEROLOK-OLOKAN ITU ( AL MU’MIN 40 : 83 ).

Bahasa Al Qur’an menurut Semedi memang sesuai dengan zamannya, tidak ada istilah bom atom, bom nuklir, bom hidrogen atau senjata sinar laser dan sebagainya, bencana alam yang disebabkan oleh ledakan yang dahsyat hanya diumpamakan dengan ledakan seperti petir atau sebagai sapuan angin yang menghancur luluhkan segala sesuatu menjadi serbuk. Itulah bahasa Al Qur’an. Bagi mereka yang mau berfikir : Apakah memang ada petir yang bisa membinasakan dan memusnahkan satu kaum ??? Apakah ada badai topan yang bisa menghancurkan segala sesuatu sampai menjadi serbuk ??? Bandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh bom atom atau bom napalm dan sejenisnya pada masa kini.

JIKA MEREKA BERPALING, KATAKANLAH : AKU TELAH MEMPERINGATKAN KAMU TENTANG PETIR, SEPERTI PETIR (YANG MENIMPA) KAUM ‘AAD DAN TSAMUD ( FUSHSHILAT 41 : 13 ).

DAN JUGA PADA ‘AAD KETIKA KAMI KIRIMKAN KEPADA MEREKA ANGIN YANG MEMBINASAKAN. ANGIN ITU TIDAK MEMBIARKAN SESUATU YANG DILANDANYA, MELAINKAN MENJADIKANNYA SEPERTI SERBUK.

DAN PADA TSAMUD, KETIKA DIKATAKAN KEPADA MEREKA : ”BERSENANG-SENANGLAH KAMU SAMPAI SUATU WAKTU”.

TETAPI MEREKA DURHAKA TERHADAP PERINTAH TUHANNYA, LALU MEREKA DISAMBAR PETIR, SEDANG MEREKA MELIHATNYA

(AZZARIYAAT 51 : 41-44)

Bagi mereka yang ragu juga mengatakan bahwa : “Reinkarnasi tidak terdapat dalam ajaran Islam”. Menurut Semedi memang benar demikian bila yang dimaksud dengan Islam adalah para penganutnya. Para penganut Islam dalam hal ini kebanyakan para ulama belum pernah mengajarkan paham tersebut. Hal ini mungkin sejak awal mereka sudah apriori terhadap masalah ini, sehingga sampai kapanpun akan terjadi perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi ini bisa disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan serta keterbatasan akal pikiran kita sehingga kita kurang bisa memahami makna ayat-ayat Al Qur’an yang bersangkutan dengan masalah reinkarnasi.

Masalah reinkaransi ini adalah masalah Ruh. Masalah Ruh adalah masalah keghoiban dan kerahasiaan Allah, sehingga sulit untuk bisa dibuktikan secara nyata. Oleh karena itu, sulit untuk diyakini oleh kebanyakan orang awam, kecuali bagi orang ulama kasyaf yang sudah bisa melihat alam ghoib dan alam kubur. Demikian menurut pendapat penulis.

Maka sekiranya engkau berselisih pendapat, ikutilah golongan mayoritas yang berpijak kepada kebenaran dan terdiri dari ahlinya (Hadits).

Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri, meskipun orang lain telah memberimu fatwa. Yang terbaik adalah yang menentramkan Ruhani. (Hadits)

Al Qur’an pun mengajarkan kepada kita bahwa bila kita tidak mengetahui maka kita harus bertanya kepada Ahli Ilmu. Namun ahli ilmu tersebut menurut Semedi harus yang berpijak pada azas kebenaran, misalnya dalam mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an juga harus benar, sesuai dengan artinya yang murni dan konsisten.

Semedi memberikan contoh sebagai berikut :

  1. Kata “mati” dalam Al Baqarah 2 : 28 :

“Bagaimana kamu tidak beriman kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Ia hidupkan kamu, kemudian Ia mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu ( lagi ), kemudian kepadanya kamu dikembalikan.

Semedi menghendaki agar kata “mati” tersebut jangan ditafsirkan sebagai tidak atau belum ada, sebagai “segumpal darah” atau pun sebagai “ketika di dalam rahim”.

Mati harus tetap ditafsirkan mati, yaitu keadaan setelah selesai siklus kehidupan dan sekarang berada di alam kubur.

  1. Kata Arab “ajalu” dalam Al An’aam 6 : 2 yang sebenarnya berarti “masa” atau “waktu” hendaknya jangan diterjemahkan sebagai “kematian”, karena tanpa disadari akan menghapuskan ajaran Allah yang menyatakan bahwa selain ada kurun waktu tertentu di dunia, ada pula kurun waktu tertentu di alam kubur atau di akhirat.

  1. Kata Arab qiyaamatu artinya yang murni adalah “kebangkitan”, yaitu kebangkitan Ruh Orang mati di akhirat atau di alam kubur setelah kematiannya, jangan ditafsirkan sebagai “akhir zaman”, “kebangkitan pada akhir zaman” atau “kehancuran total dunia pada akhir zaman”

  1. Kata-kata “diciptakan kembali”, “dihidupkan kembali”, dan “dikeluarkan” di dalam beberapa ayat Al Qur’an telah ditafsirkan secara tidak konsisten. Semula ditafsirkan sebagai “dilahirkan kembali ke dunia”, akan tetapi kemudian setelah kata-kata itu mendapat tambahan kata “lagi” atau “kembali” maka selanjutnya tafsirannya dirubah menjadi “dihidupkan kembali di akhirat”. Bila konsisten seharusnya tetap ditafsirkan sebagai semula, yaitu “dilahirkan kembali ke dunia”.

Akhirnya menurut pendapat penulis, karena masalah reinkarnasi ini menyangkut masalah Ruh yang menjadi rahasia Allah, maka bila kita sulit untuk mendapatkan Ahli Ilmu yang berpegang pada kebenaran atau kita sulit mencari Ulama kasyaf yang sudah bisa melihat alam kubur, sebaiknya kita hayati Hadits Rosulullah yang mengatakan bahwa setelah minta fatwa kepada orang lain, maka mintalah fatwa kepada hatimu sendiri dan yang terbaik adalah yang menentramkan ruhani kita masing-masing. Reinkarnasi ini bukan tujuan akhir dari ajaran Islam, karena reinkarnasi adalah kembali ke alam dunia, sedangkan tujuan akhir dari ajaran Islam adalah kembali kepada Allah. Oleh karena itu mengenai masalah reinkarnasi hendaknya tidak perlu untuk diperdebatkan. Bagi penulis sendiri yang penting adalah bukan masalah reinkarnasinya, akan tetapi yang penting adalah usaha kita untuk mencapai tingkatan Ihsan dan Insan Kamil melalui perjalanan tasawuf, sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Sunah Rosul … agar kita bisa kembali kepada Allah dan tetap berada di sisi Allah … Kecuali bila Allah menghendaki lain…



[ Kembali ]

1 komentar: